novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Meski memang dibenci Allah.Tapi bila memang tak ada jalan keluar dan alasan-alasan untuk melakukan perceraian sesuai syariat, maka itu boleh. Tak usah merasa bersalah.Allah Maha Tahu dan Mengerti. Jangan siksa diri dengan perasaan bersalah itu. Mbak tidak bersalah! Suami Mbak berkhianat dan Mbak tidak bisa mentolerirnya.”

“Tapi orang lain bisa. Jangan-jangan seharusnya saya bertahan dan bersabar,” kataku.

“Bertahan gimana? Suami Mbak tidak mengaku bersalah.
Apalagi mau minta maaf dan memperbaiki diri.

Sudahlah…Mbak tidak bersalah!” katanya meyakinkanku.

“Sekarang, banyak-banyaklah memohon pertolongan Allah, agar Mbak diberi kekuatan.”
Jalan masih panjang
Dan begitulah…Allah sungguh Maha Adil. Makin hari, makin ditunjukkannya bukti-bukti tentang kesalahan suamiku, kadang dengan cara-cara yang sa ngat ajaib.

Misalnya, aku bertemu sahabat lama yang telah lebih dari 10 tahun tak berjumpa dan darinya kudengar bahwa suamiku berselingkuh dengan seorang karyawati,yang ternyata adalah teman sekantor tetangga dekat rumahnya.

Ada juga kejadian, ketika suamiku salah kirim sms yang ditujukan kepada kekasihnya ternyata terkirim ke HPku.

Maka semua kejadian itu membuatku semakin yakin pada jalan yang kutempuh.

Setelah merasa yakin dan rasa bersalah berkurang sedikit demi sedikit, aku mulai memperoleh kepercayaan diri lagi.

Aku membangun hidup dengan memprioritaskan kepentingan anak-anak. Aku harus kuat sebab akulah tempat anak-anak bersandar.

Ketika saat-saat sedih datang menyesaki dada, aku banyak mengadu pada Allah dalam sholat-sho lat malam yang panjang.Aku tumpahkan seluruh beban dan air mata ini hanya kepada Allah. Sebab Dia sebaik-baik pendengar.

Dari apa yang kujalani, aku pun banyak belajar.Salah satunya adalah, bahwa akulah satu-satunya yang mampu membuat keputusan untuk hidupku,atas pertolongan Allah.
Bahwa sebenarnya, akulah yang paling mengerti apa yang kubutuhkan, apa yang kurasakan, apa yang harus kulakukan. Bahkan keluarga terdekat sekalipun, tak dapat sepenuhnya mengerti perasaanku. Akan ada masanya mereka merasa jenuh mendengar keluh kesahku, sementara masih begitu banyak yang ingin kukeluhkan, seolah tak pernah ada habisnya. Dari situlah aku mengerti,bahwa hanya dirikulah yang bisa mengendalikan perasaanku dengan cara bersabar dan bertawakkal. Dan hanya Allah sebaik-baik tempat mengadu.

Pengalaman ini juga memperkuat apa yang selama ini kuyakini; bahwa bagaimana pun, sebaiknya perempuan haruslah mandiri dan bekerja. Tentu tak harus bekerja di luar rumah jika itu memang menyulitkan. Bekerja dari rumah dan menghasilkan sesuatu bagi dirinya sendiri, merupakan hal yang baik untuk memupuk kemandirian serta kesiapan mental ketika terjadi musibah. Bukan hanya karena perceraian, tetapi untuk menghadapi saat-saat ketika suami tak ada di rumah, entah karena bepergian, jatuh sakit yang tak memungkinkannya bekerja, kecelakaan,atau bahkan meninggal dunia.

Semua pengalaman ini membuatku yakin, bahwa sebenarnya perempuan mampu bila keadaan memaksa untuk hidup dan berjuang sendirian. Keteguhan serta keberanian serta kegigihan dan kesabaran untuk tetap berjuang dan bertahan hidup demi diri sen diri dan anak anak adalah senjata yang sangat ampuh, yang rasanya wajib dimiliki oleh seorang perempuan.

Tentu, tak seorang perempuan pun ingin diceraikan apalagi menceraikan, tak seorang perempuan pun ingin ditinggal mati suaminya, tak seorang perempuan pun ingin berjuang sendirian karena suami tiba-tiba jatuh sakit, tak seorang perempuan pun ingin menjadi janda. Tapi ketika semua itu harus terjadi, karena takdir ilahi,maka seorang perempuan yang paling lemah sekalipun, harus siap memanggul beban dipundak. Sebab perempuan berhak sekaligus berkewajiban untuk berusaha dalam hidup. Tetap kuat dan sabar menjawab setiap tantangan, tetap terpacu untuk mencari kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sebab,perempuan juga berhak bahagia. Dan aku berhak bahagia, sebab aku juga seorang perempuan dan seorang hamba Allah.
Insya Allah.
(Nejla Humaira)
–o0o–
Momen Kecil yang Meninggalkan Jejak
Jejak yang kau tinggalkan melemparkanku pada keajaiban penuh makna dan dengan segala cinta yang kupercaya kubiarkan angan kita mengembara

Catatan 8
Hal-hal Sederhana Yang Dirindukan


“I’m a mother of two kids, and i’m proud of it!”

Apakah yang paling dirindukan seorang perempuan ketika jauh dari tanah airnya?

Sandra Nicole Rolden, penulis dari Filipina iseng-iseng membuat catatan lima hal yang paling dirindukannya sejak di Korea, sebagai berikut:
1. Kitty (her dog)
2. Her boyfriend
3. Her farnily and friends
4. Her kitchen
5. Surnmer time(kami tiba di akhir musim dingin) Saat itu kami berada di sebuah coffee shop di depan Istana Gyeongbokgung yang indah. Dari enam writers in residence hanya saya, Sandra,mas Cecep dan Surachat Petchelela yang pagi itu memutuskan untuk menghabiskan waktu di Seoul Collection, semacam klub bagi para foreigners di Korea, di mana mereka bisa menonton film film korea setiap pekannya lengkap dengan teks berbahasa Inggris, hanya dengan 3000 won (Rp. 30.000), sambil menikmati teh, kopi atau juice.

Sebuah cara yang nyaman untuk break dari aktivitas belajar bahasa Korea (lima kali sepekan di Korea University) yang cukup melelahkan. Ketika mendengar lima hal yang dirindukan Sandra, maka saya mencoba menganalisa lagi, apa yang paling sa ya rindukan.

1. Caca dan Adam
2. Suami
3. Mami, HTR dan Ibu mertua
4. Kantor
5. Masakan Indonesia
Saya amati lagi list tersebut, dan merasa yakin… ya kelima itulah yang paling saya rindukan. Jauh dari keluarga selama sebulan ini, ada beberapa hal yang berubah pada rutinitas saya. Pertama pola hidup yang jelas jauh lebih teratur, dan tidak seenaknya seperti di Jakarta. Sedikitnya ada tiga kebiasaan jelek saya dulu: tidur menjelang pagi, bangun siang (habis subuh tidur lagi) dan terakhir kerap lupa waktu makan.
Kebiasaan jelek pertama masih belum bisa diubah total dan kadang sungguh menyiksa. Pernah saya sama sekali tidak bisa tidur dua malam berturut-turut dan harus berusaha keras untuk fokus di kampus keesokan harinya.

Yang kedua, alhamdulillah jam berapa pun tidurnya, sempat tidur atau tidak, saya ‘hidup’ lebih pagi. Dan yang ketiga, soal telat makan… saya jaga benar-benar agar tidak terjadi. Hari kelima di Korea perut saya sempat perih luar biasa gara-gara melewatkan makan siang. Ternyata jamuan makan yang dijanjikan di 63 Building dalam Opening Ceremony, bukan makan siang melainkan makan malam.

Saya benar-benar jeri, sebab dengan perut sakit hingga nyaris pingsan, saya harus menempuh jalan cukup jauh ke subway station terdekat dalam cuaca 2 derajat celcius pula!

Tapi perubahan besar lainnya terkait hal-hal yang saya rindukan. Setelah jauh dari tanah air dan orang-orang yang saya cintai, saya jadi lebih mampu menghargai momen-momen kecil, yang sebenarnya sejak dulu pun saya nikmati.

Tiba-tiba saya merasa belum cukup mensyukurinya. Apa saja?
Pertama, saya sangat bersyukur menjadi ibu. Dan kalimat itulah yang dengan bangga saya sampaikan kepada teman-teman dari berbagai negara, ketika cukup banyak yang menyembunyikan status seraya bercanda: Petualangan itu perlu untuk proses kreatif, Asma! Apalagi bagi seorang penulis!